Kamis, 13 Desember 2007



हेहेहेह.....

gila, keren banget ya kalo orang lagi jatuh cinta.....yang tadinya kasar bukan kepalang ia mampu merasakan kelembutan bahkan yang tak terasa oleh orang paling lembut sekalipun....................

Selamat ya!!!Kawan Kamu Dapatkan Lagi Itu......

Hmmmm, Welcome to the EDENSOR................

Hmmm………..siapapun ga akan ada yang tau perasaan aku ke dia….jatuh cinta memang egois. ga mau tahu apa realitas yang ada. Ia ga tahu kalo kamu lebih muda dari aku, ia juga ga tahu kalo di hatimu telah diisi orang lain jauh sebelum aku mampu menatap mu.ahgr!! terlalu banyak beda antara aku dengan mu, menyedihkan memang,,,,

Namun, Saat mataku bertatapan dengan mu semua perbedaan itu mengerut sedikit demi sedikit dan mengubah diri menjadi padang edensor yang indah tempat nabi adam melakukan dosanya. Andai kau tau, ada yang mencintai kamu sedalam ini.

Egois kau hai “jatuh cinta .aku ingin mengumpatmu sekejam mungkin. Karena kau yang menyebabkanku sering bahagia sendiri, hampir seperti orang gila tingkat tinggi. Setelah itu menjalar sedikit demi sedikit timbul pertanyaan besar apa ini berdosa? Agamaku sangat memelihara ummatnya. Bahkan tertawa terbahak pun satu hal yang nista dan harus dihindari ummatnya. Apalagi mencuri-curi ”berjatuh cinta” pada yang jelas bukan hak ku.

Aku jatuh cinta…………aku juga bukan orang yang munafik yang tak mau mengungkapkan ini karena takut dianggap tidak suci oleh manusia yang lain. Tapi satu hal yang pasti aku Cuma takut ini tidak sesuai dengan ajaran agama yang dari kecil tertanam…..

Padang edensor itu membayangi setiap pandanganku. Kamu jadi begitu indah. Semua orang tahu pasti kalau orang saat sedang jatuh cinta kita berubah menjadi orang yang tidak objektif. Panca indera kita jadi tidak berfungsi. Yang bicara adalah hati.Setelah terpuruk selama beberapa tahun, kini rasa itu hadir kembali. Ku bahagia, sangat bahagia……..aku tidak peduli sama sekali akan realitas yang ada. Biarkan aku terbang dulu wahai kawan bersama padang edensor itu, biarkan tuhan mempermainkanku lewat kamu. Membawa asaku mengepakan sayap bersama bayangan mu………………………………………………………………….

Bunga yng berguguran ini biar jadi saksi, aku pernah menjadi bagian edensor yang hanya tumbuh dikepala orang-orang jauh cinta. Indah kawan………..semuanya terlihat begitu indah, laptop ini mendadak terlihat lebih cantik, rambutku yang terurai terlihat lebih indah, keyboard ini juga terlihat seperti selalu tersenyum padaku. Oohh…Indahnya cinta, dan Kamu penyebab semua ini.

Selanjutnya yang kuperbuat adalah bermunafik, menyangkal setiap tuduhan yang tertuju padaku tentang Kamu. Karena aku begitu pengecut…..entahlah. tapi saat aku mengatakan tidak, terlihat riak kecewa dari wajah kamu. Wajah yang menerbangkanku ke padang edensor……oh, kamu terlalu indah untuk itu. Maafkan aku, karena ku terlalu takut…pangeranku.biar ini terukir indah bagai prasasti agung jauh di lubuk hati kita. Cinta itu biarlah hanya kita yang rasakan, matamu menuntut aku untuk jujur….tapi aku tak bisa yang ku bisa hanya menyusun bait-bait ini.sebagai bukti sejarah kita pernah pergi ke padang edensor bersama-sama tanpa kemunafikan dunia.

Indah itu hanya kita yang rasakan, aku begitu yakin kau juga merasakan itu, namun seperti halnya aku kamu pun begitu takut! Nanti, suatu saat.....kala orang tak lagi peduli satu sama lain. Ketika edensor itu berwujud nyata aku akan mencarimu, kita akan saling mencari kan?! Kita akan membuat edensor yang paling indah yang tak satupun orang bisa menandinginya. Ku akan membuat taman itu sangat indah dengan bunga-bunga yang benihnya telah aku tabung dari sekarang. Kamu mau kan?

Aku tak peduli apa jawabanmu. Lagi-lagi aku jadi orang yang sangat egois………..

SELAMAT TINGGAL, semoga kelak kita bertemu disana…..tanpa ketakutan kita dengan benih-benih cinta yang kita tabung dari sekarang…demi hiasan edensor kita yang paling indah…….

Ku akan mencarimu…….
Thanks GOD

Sabtu, 24 November 2007

ORANG YANG MENYIMPAN SEKAM

kenapa event penggantian tongkat amanah selalu menjadi event-event pengkutukan bagi satu golongan??????

ada yang ngerti???

Kamis, 08 November 2007

PERNYATAAN SIKAP MAHASISWA DALAM RANGKA HARI KESEHATAN NASIONAL

1) Pemenuhan anggaran kesehatan sesuai dengan standar WHO, minimal 5% dari pendapatan kotor nasional
2) Penyediaan akses pelayanan kesehatan yang adil, merata, dan bermutu bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia (sesuai dengan UUD 45 Pasal 28H ayat 1 dan Pasal 34 ayat 3)
3) Pemutusan kebijakan kesehatan sesuai dengan kondisi realita masyarakat Indonesia, tanpa intervensi manapun, dan berprinsip evidence base
4) Perwujudan Indonesia Sehat dengan penerapan kesadaran hidup bersih secara intensif oleh seluruh masyarakat Indonesia

Jumat, 28 September 2007

KADERISASI....kaderisasi......

Huh....sedih niy frend. bentar lagi gue bakal lengser dari amanah gue ke[ala departemen kajian strategis. kayak sospolnya fakultas gue tercinta ini. UI, tempat gue ngampus plus nyari arti hidup (cieh..) terkenal yang suka bikin pergerakan mahasiswa tetep hidup. but....hmmm kali ini gue mungkin gagal mengkader orang. saat gue mau lengser gue agak gagal menciptakan kader baru yang mau gantiin gue. mungkin..ada tapi gue nggak jamin dia punya kualitas yang sama dengan gue plus punya ketajaman mengkaji. wah....bisa-bisa gue mati penasaran niy......abis ketika gue meninggalkan senat gue tercinta....gue blom bisa meninggalkan kader terbaik. ok frend??nntar hub gue ya////

Jumat, 21 September 2007

PLATFORM PERGERAKAN MAHASISWA

Gambaran singkat
USULAN KONSEP PLATFORM GERAKAN

aku berfikir tentang
sebuah gerakan
tapi mana mungkin
aku nuntut sendirian

aku berfikir tentang gerakan
tapi mana mungkin
kalau diam ?

(Tentang Sebuah Gerakan, Wiji Thukul, 1989)

untuk mereka yang bersungguh-sungguh
menanam kembali kebiasaan bergerakan

P r o l o g
Sebagai sebuah gerakan, BEM UI memliki posisi yang sangat unik. Keunikan itu disebabkan karena banyaknya peran yang bisa dimainkan yang tidak dibatasi pada spesifikasi isu tertentu. Hal ini tentu berbeda dengan gerakan sosial lain yang memiliki kekhususan dalam aktivitas dan kerja-kerja gerakannya, yang umumnya mengambil isu-isu tertentu seperti isu lingkungan, isu anti utang, pengarusutamaan gender, bantuan hukum, perlindungan konsumen dan sebagainya. Di tingkat Universitas, BEM UI juga memiliki keunikan yakni sebagai organisasi kemahasiswaan yang (juga) memiliki banyak peran disamping perannya sebagai gerakan sosial kemasyarakatan (peran sosial politik). Sebagai sebuah organisasi kemahasiswaan tentunya BEM UI tidak melulu disibukan dengan urusan-urusan sosial-politik, sesekali BEM UI juga menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang sewajarnya dilakukan oleh mahasiswa : seminar ilmiah, job-expo (career day), apresiasiasi seni&budaya, dan sebagainya. Pendek kata sebagai sebuah gerakan juga sebagai sebuah organisasi kemahasiswaan BEM UI bisa dibilang sangat lengkap baik dalam isu yang diangkat maupun dalam kegiatan yang diselenggarakan. Hal ini tentunya harus diapresiasi posistif sebab dengan demikian BEM UI secara kuantitas dapat berkontribusi lebih banyak baik itu untuk kepentingan bangsa maupun untuk almamater (civitas akademika UI).
Meski demikian keunikan ini pada akhirnya akan membuat BEM UI kehilangan ciri khasnya, dan hal ini akan sangat terasa saat BEM UI menjalankan perannya sebagai gerakan moral (dan sosial) yang berbasis intelektualitas. Tanpa adanya platform gerakan (baca : ideologi gerakan) BEM UI hanya akan terlihat sebagai gerakan yang menyikapi realitas sosial secara reaktif tanpa tujuan dan arah yang jelas. BEM UI juga akan terjebak pada kerja-kerja yang bersifat charity an sich : menyikapi masalah, melakukan aksi massa, melakukan pendampingan masyarakat, melakukan kegiatan sosial tapi tidak melihat struktur masalah secara kritis sehingga masalah serupa muncul kembali dan kegiatan-kegiatan advokasi tersebut berulang terus setiap periode layaknya program rutin yang sudah sewajarnya dilaksanakan.
Oleh karena itulah upaya membuat (baca : menemukan kembali) platform gerakan menjadi sangat penting dilakukan. Hal ini tidak lain agar BEM UI dapat kembali mengafirmasikan dirinya sebagai gerakan yang layak diperhitungkan juga agar BEM UI dapat memberikan sesuatu yang jauh lebih bermakna dan berarti bagi bangsa ini. Tentu saja, tanpa menafikan peran-peran lain dari BEM UI selain sebagai sebuah “gerakan mahasiswa”, seperti “pengembangan potensi mahasiswa”.
“Platform Gerakan” di sini merujuk kepada sebuah landasan dasar yang akan digunakan untuk menjadi basis pijak bagi gerakan mahasiswa Indonesia, khususnya BEM UI (dan kita berharap dapat mengawali kebangkitan “gerakan mahasiswa” secara nasional, mengingat keterpurukan “gerakan mahasiswa” secara umum). Tulisan pengantar ini akan memberikan sedikit penjelasan mengenai pentingnya “platform gerakan” serta gambaran umum platform gerakan tersebut.

Tinjauan Singkat Kondisi Gerakan Mahasiswa Pasca Reformasi
Di negeri ini mahasiswa memiliki peran historis yang tidak dapat dianggap enteng. Tidak ada proses transformasi sosial yang tidak melibatkan mahasiswa didalamnya. Dalam konteksi ini maka selama kurun satu dekade ini reformasi 1998 menjadi puncak pembuktian peran mahasiswa dalam perubahan sosial yang ada di Indonesia. Ketika reformasi bergulir, Gerakan mahasiswa (dan gerakan sosial kemasayarakatan lainnya) menemukan Historical Block yang menjadi spirit bersama untuk menolak Orde Baru dan Militerisme yang dimanifestasikan dengan tuntutan menurunkan Jend. HM Soeharto dari posisi presiden. Historical Block ini untuk beberapa lama menjadi titik semu persamaan antara gerakan-herakan kemahasiswaan yang memiliki banyak perbedaan baik dalam afiliasi ideologis maupun kepentingan. Dan terbukti persatuan gerakan mahasiswa ini (dibantu rakyat Indonesia) telah berhasil menjatuhkan rezim fasis yang telah bercokol selama 32 tahun, sebuah capaian yang menurut logika akal sehat sangat sulit dipercaya.
Mahasiswa sebagai salah satu unsur dalam masyarakat merupakan sebuah entitas yang memiliki posisi yang terhormat ditengah-tengah masyarakat. Tanpa mahasiswa apa yang akan terjadi dengan masa depan bangsa Indonesia. Mahasiswa merupakan gabungan dari dua buah kata; Maha dan Siswa. Maha artinya besar dan siswa artinya pembelajar. Dari dua buah kata itu, maka Mahasiswa adalah pembelajar yang memiliki fungsi lebih dari pada hanya belajar tetapi lebih dari itu mahasiswa memiliki fungsi-fungsi dalam masyarakat. Fungsi-fungsi mahasiswa yang membedakannya dengan Siswa (pembelajar) adalah fungsi sosial politiknya.
Fungsi-fungsi sosial politik Mahasiswa ini diejawantahkan dalam bentuk sebuah pergerakan, yaitu pergerakan mahasiswa. Dua hal yang (seharusnya) membedakan mahasiswa dengan gerakan-gerakan sosial politik yang lain adalah intelektualitasnya dan moralitasnya. Mahasiswa jelas seorang pembelajar yang juga seorang intelek. Dan jelas mahasiswa berlandaskan moralitas karena mahasiswa tidak memiliki kepentingan-kepentingan politik pragmatis kecuali untuk kepentingan bangsa itu sendiri.
Sejarah telah membuktikan kepada kita, seberapa besar peran mahasiswa berkontribusi untuk bangsa Indonesia. Pada tahun 1966, dimana Mahasiswa dengan gerakannya yang massif-politis berhasil menumbangkan kekuasaan Presiden Soekarno. Juga pada tahun 1998 Mahasiswa beserta ormas-ormas lainnya dapat berhasil menjatuhkan kekuasaan presiden Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun. Kedua keberhasilan mahasiswa dalam melakukan pergerakan didukung oleh dua hal, yaitu momentum yang tepat karena berbarengan dengan kondisi sosial-politik yang berubah dan yang kedua karena mahasiswa memiliki musuh bersama yang tersimbolisasikan dalam sebuah rezim pemerintahan.
Lantas bagaimana setelah sebuah rezim tumbang (simbolisasi musuh bersama tidak ada lagi), dan bangsa berada pada era transisi (tidak ada momentum)? Apakah mahasiswa kembali lagi kekampus dan fous belajar (dalam artian kembali menjadi siswa) atau mahasiswa terus melakukan aksi-aksi reaktif yang bahkan masyarakat pun sudah bosan melihatnya seakan-akan apa yang dilakukan mahasiswa tidak memiliki relevansi dalam masyarakat. Tentu tidak ada dari dua pilihan itu yang menjadi pilihan kita.
Gerakan mahasiswa pada kurun waktu sebelum tahun 1998 ( ORDE BARU ) cenderung membawa isu-isu sentral disekitar otoritarianisme penguasa. Gerakan lebih terfokus pada gugatan-gugatan peran politik pemerintah yang dinilai tidak demokratis atau kalau pun secara konstitusionil pemerintahan kita menganut sistem demokasi, akan tetapi manifesto politiknya seakan setengah hati atau sekedar basa-basi. Dari kondisi pemerintahan yang tidak demokratis tersebut maka munculah kebijakan-kebijkan yang tidak memihak kepada rakyat. Dan inilah yang menjadi titik sentral gugatan mahasiswa pada kurun waktu tersebut. Atau dengan kata lain gerakan mahasiswa tersebut lebih berorientasi pada usaha mendobrak infrastruktur demokrasi yang belum bekerja secara obtimal. Dan daya dobrak gerakan mahasiswa pun akhirnya mencapai puncak ditandai dengan jatuhnya rezim Soeharto. Dan dari sinilah awal reformasi. Dampak positifnya adalah infrastruktur demokrasi sudah mulai tertata dengan baik. Cita-cita bersama sebagai Negara yang benar-benar demokrasi yang sebenarnya tampaknya sudah di depan mata.
Pasca reformasi 1998 gerakan mahasiswa mulai terlihat kehilangan orientasi. Transisi demokrasi yang mulai berjalan mulai membuat gerakan mahasiswa seolah sulit menempatkan diri. Pasca reformasi infrastruktur demokrasi sudah tertata dengan baik (meski dengan banyak catatan) : Supremasi hukum diakui dalam konstitusi, Penghormatan pada Hak asasai manusia, otonomi daerah, Check and Balances lembaga negara yang mulai berjalan sebagaimana mestinya, adalah sebagian dari hasil yang diperoleh selama periode transisi ini. Gerakan mahasiswa yang masih terhanyut euphoria reformasi 1998 tampaknya tidak banyak memperhatikan perubahan ini dan mangalamai kesulitan beradaptasi sehingga cenderung mempertahankan pola gerakan yang itu-itu saja : aksi massa, mobilisasi masa, extra parliament movement- tanpa memperhatian efektifitas, goal yang dituju dan kejelian mempertimbangkan sarana lain yang lebih efektif digunakan (mengingat banyaknya sarana demokrasi yang dapat digunakan oleh masyarakat pasca reformasi ini).
Menurut Amien Rais, Gerakan Mahasiswa kini "mati suri", hal ini ditunjukkan dengan aksi demonstrasi untuk kepentingan rakyat yang tak banyak dilakukan. Kondisi ini ditambah dengan kemunculan berbagai gerakan dari elemen non-Gerakan Mahasiswa yang semakin marak. Sehingga, dominasi peranan non-Gerakan Mahasiswa semakin membuat galau publik terhadap peranan Gerakan Mahasiswa . Jadi dewasa ini, peranan Gerakan Mahasiswa telah banyak diambil alih oleh gerakan-gerakan LSM, dan BEM UI sebagai lembaga yang menjadi wadah bagi gerakan mahasiswa hanya menjalankan fungsinya sebagai wadah aktualisasi serta aktualisasi manusia serta menjadi pelayan mahasiswa an sich.
Diantara berbagai persoalan tampaknya gejala fragmentasi gerakan mahasiswa-lah yang paling mengkhawatirkan. Titik semu persamaan yang sempat terbentuk antar gerakan saat menggulirkan reformasi tampaknya kini tidak lagi (belum) terwujud. Gerakan mahasiswa yang pada dasarnya memiliki beragam warna -sebagai implikasi langsung dari kebebasan intelektual dan ideologis yang didapatkan dikampus- kini cenderung mempertahankan egoismenya masing-masing sehingga sulit melakukan konsolidasi antara gerakan dan mewujudkan koalisi sebagaimana pernah terwujud pada reformasi 1998. Hal ini tentu akan sangat merugikan mengingat masih banyaknya permasalahan yang membutuhkan sentuhan gerakan mahasiswa (baca : persatuan gerakan mahasiswa). Bila kondisi ini terus dibiarkan bukan tidak mungkin beberapa tahun kedepan kita membutuhkan “mikroskrop” untuk melihat gerakan mahasiswa yang terus terfragmentasi ke dalam kelompok-kelompok kecil.
Secara umun, persoalan-persoalan yang dialami oleh gerakan mahasiswa dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kategori berikut:
Gerakan mahasiswa dewasa ini, menghadapi berbagai macam realitas yang menyebabkan gerakan mahasiswa mati suri. realitas-realitas yang dihadapi gerakan mahasiswa adalah disorientasi dalam tujuan, fragmentasi internal, tidak jelasnya positioning gerakan mahasiswa, kurangnya sinergisitas antar kelompok pergerakan mahasiswa dan juga dengan gerakan sosial lainnya (baca: NGO), dan yang terakhir adalah pola dan strategi gerakan mahasiswa yang cenderung Old Fashioned dan tidak elegan dalam menyikapi masalah. Berikut rincian realitas-realitas tersebut.

1. Disorientasi
Gerakan mahasiswa era reformasi (pasca 1998) berada pada stagnasi gerakan. Kelompok-kelompok pergerakan mahasiswa sebelumnya (sebelum 1998) memiliki tujuan (orientasi) yang sama yakni perubahan (reformasi) dan penurunan rezim militeristik Soeharto. Kedua kesadaran ini menjadikan gerakan mahasiswa sebuah historical bloc yang bersatu untuk melawan (counter-hegemony) penguasa pada waktu itu. Tetapi amat disayangkan historical bloc yang terbentuk hanya menjadi temporary historical bloc dan tidak menjadi New Historical Bloc.
Alasan mengapa historical bloc ini tidak bertahan lama adalah karena pasca 1998 historical bloc ini tidak memiliki sebuah titik persamaan seperti pada waktu 1998. Gerakan mahasiswa mengalami disorientasi tentang apa tujuan dari gerakan mahasiswa.
Pasca 1998 gerakan-gerakan mahasiswa mulai kehilangan orientasi. Transisi demokrasi yang mulai berjalan membuat gerakan mahasiswa sulit menempatkan diri. Pasca reformasi infrastruktur demokrasi sudah tertata dengan baik (meski dengan berbagai catatan). Seperti yang kita lihat, supremasi hukum diakui dalam konstitusi, penghormatan pada hak asasi manusia mulai dihargai, adanya desentralisasi dan otonomi daerah, Checks and balances lembaga Negara yang mulai berjalan sebagaimana mestinya. Semua itu sudah dapat dirasakan dalam era transisi dewasa ini. Lalu apa yang akan diperjuangkan kembali oleh gerakan mahasiswa bila isu-isu demokrasi pada era transisi sudah diraih?


2. Fragmentasi
Tak dapat disangkal lagi, Ideologi selalu terkait dengan mahasiswa. mahasiswa sebagai intelektual-intelektual kampus pastilah bersinggungan dengan bermacam-macam paradigma dan ideology-ideologi tertentu dan merupakan sebuah keharusan bagi itelektual kampus untuk mempelajari berbagai macam teori dan paradigma serta ideologi. Tetapi pada saat ideology yang berada pada ranah teori berada pada ranah praksis maka muncul berbagai macam masalah.
Penerapan ideology pada ranah praksis tanpa disertai penyikapan yang kritis akan membuat mahasiswa jatuh kepada kubangan egoisme dan arogansi intelektual yang merasa kelompok ideologisnya yang paling benar. Sehingga setiap kelompok mencurigai kelompok lainnya. Inilah yang sekarang terjadi pada gerakan mahasiswa. penerapan ideology tanpa disertai penyikapan yang kritis, pada akhirnya menjadikan mahasiswa susah melakukan konsolidasi internal.
Bila dulu (sebelum reformasi) common interest gerakan mahasiswa adalah reformasi, maka setalah era reformasi mahasiswa dengan ideologinya masing-masing mendefenisikan reformasi menurut mereka sendiri-sendiri. Tidak adanya platform tunggal yang dapat menjadi titik temu berbagai macam gerakan-gerakan mahasiswa turut menjadikan gerakan mahasiswa terfragmentasi menjadi kelompok-kelompok kecil.

3. Positioning
Seiring reformasi, terjadi penguatan lembaga-lembaga non-pemerintah yang non-mahasiswa yang dahulu dibatasi. Hal ini menjadi sebuah peluang, namun sekaligus menjadi sebuah tantangan bagi gerakan mahasiswa yang tidak memiliki platform yang jelas sehingga positioning-nya pun tidak jelas. Hal ini mengakibatkan gerakan mahasiswa seakan “tertinggal” dari gerakan yang lain.

4. Sinergisitas
Karena gerakan sosial bukanlah sebuah gerakan elitis maka gerakan sosial yang ada baik gerakan-gerakan mahasiswa maupun gerakan-gerakan non-mahasiswa perlu melakukan sebuah sinergisitas dalam pergerakannya. Selama ini gerakan mahasiswa terkesan bergerak sendiri-sendiri tanpa ada keserasian dalam pergerakan. Apa yang diperjuangkan oleh sebuah gerakan mahasiswa sepertinya tidak sinergi dengan gerakan mahasiswa lainnya. Gerakan mahasiswa tak hanya ada di Jakarta maupun di Jawa, gerakan mahasiswa ada diseluruh wilayah Indonesia. Dengan modal ini, mahasiswa seharusnya menjadi sebuah gerakan yang efektif mencapai tujuan. Bila arogansi ideologis menyebabkan fragmentasi dalam tubuh gerakan mahasiswa. maka penyebab dari tidak sinergisnya gerakan mahasiswa adalah arogansi almamater.
Juga gerakan mahasiswa dengan gerakan non-mahasiswa selama ini terdapat kesan ingin saling mendominasi gerakan sosial di masyarakat seperti klaim dari gerakan mahasiswa bahwa merekalah yang paling berperan sebagai agent of sosial change .

5. Pola dan strategi
Selama ini gerakan mahasiswa terjabak dalam citraan-citraan yang sudah tertanam dalam benak mahasiswa sendiri. Mahasiswa selalu dicitrakan sebagai individu-individu yang idealis. Mahasiswa juga disebut-sebut sebagai penyambung lidah rakyat, mahasiswa yang lebih baik hidup terasingkan dalam ruang kelas yang sempit dari pada menyerah pada kemunafikan. Gerakan mahasiswa selalu mewakili citraan-citraan diatas dengan cara-cara yang terkesan heroic dan bersemangat.
Pola yang diambil gerakan mahasiswa pun cenderung frontal dan menafikan pola-pola yang lebih elegan. Ada kesan dalam mahasiswa bahwa bila tidak melakukan aksi turun ke jalan, demonstrasi, dan mimbar bebas, maka suara mereka tidak akan didengar oleh pemerintah. Pola extra parliamentary menjadi pilihan yang paling disukai oleh mahasiswa.

Tetapi zaman telah berubah, masyarakat Indonesia sekarang ini tidak hidup dalan sebuah ruang otoritarian seperti pada zaman orde baru. Pola-pola pergerakan yang seperti dulu tidak lagi bercitra positif dalam benak masyarakat. Pola-pola seperti ini tidak dapat menjad memberikan efektivitas tujuan yang hendak dicapai. Seperti yang dikatakan Antonio Gramsci, gerakan social adalah gerakan yang selalu memilik daya cipta kreasi sehingga tidak terjebak dalam pola-pola yang tidak dapat memberikan efektivitas tujuan yang diharapkan. Untuk itulah, pola dan stategi gerakan pun harus dibuat dengan lebih utuh dan sesuai realitas, supaya kita tidak berteriak di ruang hampa.
Oleh karena itu yang harus dilakukan oleh gerakan mahasiswa dewasa ini agar tetap dapat menjalankan fungsi sosial politiknya adalah membuat kembali Platform gerakan yang selama ini tidak pernah ada. Jangan sampai idealisme kita tidak berakar dari realitas yang ada. Hal ini akan menjadikan idealisme mahasiswa terdekontektualisasi dari realitas yang ada. Idealisme mahasiswa harus menjadi idealisme praksis dimana idealisme itu ditransformasikan dalam bentuk-bentuk real dan langsung menyangkut perut rakyat Indonesia. “Sinergi intelektualitas dengan perut rakyat”, hal inilah yang harus menjadi ruh dalam platform gerakan mahasiswa baru.

Gambaran Singkat Usulan Platform Gerakan Mahasiswa ala BEM UI
Peran apa yang bisa dimankan oleh BEM UI menyikapi permasalahan ini? Sebagai gerakan yang “membonceng” nama besar Universtas Indonesia sebenarnya BEM UI dapat memainkan peran yang besar untuk mewujudkan kembali persatuan gerakan mahasiswa (atau minimal gagasan tentang persatuan gerakan mahasiswa). Untuk itu platform gerakan menjadi condito sine qua non, sesuatu yang mutlak diperlukan sebelum BEM UI memainkan peran besar ini.
Paska reformasi, dimana infrastruktur demokrasi sudah mulai mapan, hak-hak rakyat secara politik sudah mulai terbangun, maka orientasi gerakan mahasiswa pun sejatinya harus bergeser mengikuti kondisi factual. Gerakan mahasiswa tidak lagi berorientasi pada advokasi hak-hak sipil-politik akan tetapi lebih menitikberatkan pada advokasi terhadap hak-hak yang secara langsung dirasakan oleh rakyat seperti hak-hak dalam bidang ekonomi, social dan budaya.
Dialektika politik dan perdebatan public dikalangan elit politik paska reformasi berimbas pada penelantaran hak-hak masyarakat dibidang social, ekonomi dan budaya. Sudah saatnya gerakan mahasiswa keluar dari arus perdebatan tersebut dan menatap fenomena nyata di masyarakat, bahwa masih banyak masyarakat kita masih tertindas secara social ekonomi. Secara politik, mungkin masyarakat kita sudah dapat dikatakan merdeka, masyarakat memiliki keleluasaan lebih untuk mengekspresikan aspirasinya dan kondisi ini sangat jauh berbeda dibanding dengan masa ORDE BARU. Akan tetapi, ironisnya secara ekonomi masyarakat kita semakin terpuruk. Recovery akibat krisis ekonomi tidak menyentuh masyarakat kecil terbukti dengan masih tingginya angka kemiskinan dan tingkat pengangguran, masih rendahnya tingkat pendapatan yang diperparah dengan senjangan pendapatan ( income gap ) dan bahkan akhir-akhir ini kita mendengar adanya kelaparan dibeberapa daerah di tanah air.
Fenomena menyedihkan ini tidak akan terjadi jika hak-hak social ekonomi masyarakat mendapat perhatian lebih dari pengambil kebijakan di negeri iini. Ketika pemerintah menelurkan kebijakan terutama kebijakan ekonomi dengan mengabaikan hak-hak rakyat kecil itu sama saja pemerintah melakukan disempowerment terhadap rakyat. Salah satu contoh nyata bahwa pemerintah telah melakukan disempowerment tersebut antara lain adalah bahwa selama ini mainstream kebijakan ekonomi selalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi ( growth ) sehingga kebijakan kebijakan ekonomi sebagai derivasinya akan mengacu pada target pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Diharapkan dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu akan berdampak pada kesejahteraan setiap lapisan masyarakat. Atau dengan kata lain pemerintah saat ini masih sangat percaya akan mekanisme efek menetes ke bawah ( trickledown effect ) yaitu dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi ditandai dengan peningkatan output nasional maka akan membawa dampak meningkatnya output pada setiap lapisan ekonomi masyarakat, dari lapisan atas sampai lapisan bawah dan diharapkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan akan meningkat.
Akan tetapi pada kenyataanya meknisme tersebut tidaklah terjadi karena ada beberapa catatan. Pertama, secara factual ekonomi kita hanya dikuasai oleh segelintir pemilik modal, 80% kegiatan ekonomi di negeri ini hanya dikendalikan oleh sekitar 20% penduduk saja. Kedua transformasi structural ekonomi tidak berjalan dengan baik yang berdampak pada lemahnya pembangunan industri ( industrial development ) dan terlantarnya sektor pertanian. Jika pemerintah saat ini selalu berfokus pada pencapaian pertumbuhan ekonomi sebagai indicator kesejahteraan ini artinya yang disejahterakan pemerintah hanyalah segelintir orang yang memegang kendali ekonomi negeri.
Seharusnya jika pemerintah benar-benar memahami hak-hak masyarakat yang sebenarnya, maka sudah seyogyanya pemerintah merubah paradigma pembangunan ekonomi dari yang beorientasi pertumbuhan menuju paradigma pembangunan ekonomi yang beriorientasi pemberdayaan masyarakat ( empowermwnt ). Rakyat harus benar-benar menjadi target utama dalam pembangunan ekonomi sehingga kebijakan-kebijakan ekonomi sebagai drivasinya benar-benar menjadi kebijakan yang memihak rakyat.
Secara garis besar platform yang kami ajukan lebih merupakan sebuah bentuk transformasi dari bentuk dan pola gerakan yang selama ini dimainkan oleh BEM UI (terutama pasca reformasi 1998).

1. Transformasi Isu




2. Transformasi Karakter








3. Transformasi Pola dan Bentuk Gerakan






Note :
• Perlu difahamai bahwa transformasi tidak selalu berarti “meninggalkan” melainkan “lebih menekankan kepada” sebab dalam bebarapa hal pola-pola lama masih relevan digunakan (misalnya aksi massa dsb)
• Penjelasan masing-masing bentuk transformasi akan dijelasakn kemudian
Mengapa ”Hak-hak Ekonomi-Sosial-Budaya”

Transformasi ekonomi dan transformasi sosial budaya adalah konsep dasar yang dijadikan platform kebijakan nasional para founding father bangsa ini. Transformasi ekonomi dimaksudkan untuk merubah sistem ekonomi kolonial yang subordinatif menjadi sistem ekonomi yang demokratis. Pada sistem ekonomi subordinatif tidak ada kesamaan/kesetaraan dalam hubungan antar pelaku ekonomi (layaknya sistem yang berlaku pada zaman usaha VOC, Pasca VOC, cultuurstelsel), ada pelaku yang tidak ”merdeka” dalam melakukan kegiatan ekonomi. Sementara itu, sistem ekonomi demokratis menuntut adanya partisipasi aktif dari rakyatnya dalam kegiatan perekonomian, dan tentunya ”kemerdekaan” (emansipasi) dalam melakukan kegiatan ekonomi. Jadi, misalnya, adanya pengangguran merupakan bentuk dari adanya ketidak-partisipasian dari rakyat dalam kegiatan ekonomi (Pasal 27 UUD 1945).
Bentuk sistem ekonomi yang demokratis dapat dilihat pada pasal 33 UUD 1945. Pada pasal itu sistem ekonomi selayaknya berdasarkan pada kebersamaan dan asas kekeluargaan. Segala hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kekayaan SDA dikuasai negara dan dipergunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat.
Untuk merubah sistem ekonomi subordinatif itulah perlu dilakukan adanya transformasi sosial. Transformasi sosial ini perlu menempuh suatu proses budaya melalui pertentangan kepentingan sosial-ekonomi, berhadapan dengan budaya feodalistik dan servilisme yang tidak mendukung proses tersebut.
Lalu bagaimana realitas yang terjadi dengan Indonesia sekarang?
Pertama, mengenai masalah ketenagakerjaan, dari data sakernas dapat diketahui bahwa angkatan kerja menaik dari 105,802,372 tahun 2005 menjadi 106,3 juta pada Februari 2006. Kemudian penduduk yang bekerja 94,948,118 pada tahun 2005, menjadi sebanyak 95,2 juta orang Februari 2006. Dari jumlah penduduk yang bekerja tersebut, jumlah yang bekerja pada sektor pertanian adalah 41,814,197 (44%) pada tahun 2005. Kemudian dari para pekerja tersebut jumlah penduduk yang memiliki gaji bersih dibawah satu juta ada 26,977,000 pada tahun 2005.
Dari jumlah pekerja tersebut, yang bekerja pada sektor informal adalah sejumlah 66,298,303 (70%) pada tahun 2005. Sementara itu jumlah setengah menganggur sebanyak 29,642,127 tahun 2005, Februari 2006 sebanyak 29,9 juta orang. Pengangguran terbuka 10,854,254 jiwa. Sekitar 33%nya sudah putus asa untuk mendapatkan pekerjaan.
Jadi data diatas mengindikasikan bahwa masih banyaknya pemborosan pemborosan sumber daya dan potensi yang ada. Adanya ketidak-partisipasian dari rakyat dalam kegiatan ekonomi. Pengangguran dan setengah menganggur itu akan menjadi beban keluarga dan masyarakat, sumber utama kemiskinan, dapat mendorong peningkatan keresahan sosial dan kriminal, dan dapat menghambat pembangunan dalam jangka panjang. Kemiskinan di negeri ini pada tahun 2004 saja sudah mencapai 36.154.900 jiwa, sekarang? Dengan demikian kebijakan ekonomi yang sudah seharusnya diambil adalah kebijakan ekonomi yang bersumber pada penciptaan lapangan pekerjaan. Ironisnya, keberpihakan pemerintah untuk menganggulangi masalah tenaga kerja sangat kecil (pengeluarannya untuk tenaga kerja hanya 0.2% terhadap APBN) .
Kedua, telah terjadinya pergeseran pola pada sistem ekonomi, dari yang berdasar kebersamaan dan asas kekeluargaan (Pasal 33) menjadi sistem yang berdasar pada individualisme, kapitalisme. Privatisasi adalah salah satu contohnya. Penguasaan rakyat pada pemanfaatan SDA yang dimilikinya sudah pada tingkat yang terendah jika tidak ingin menyebutnya telah hilang.
Ketiga, dalam hubungan antanegara. Pola hubungan subordinasi ini terjadi karena adanya inferiority complex, suatu budaya minder, tunduk dan kagum kepada yang serba barat/asing. Mudah sekali bangsa ini “diintervensi”. Dependensi bukan interdependensi yang terjadi. Penerapan liberalisasi yang tergesa-tergesa, pengurangan subsidi, privatisasi, untuk mendapatkan utang adalah salah satu contoh hubungan subordinasi dengan asing (IMF). Dan belakangan seperti yang kita ketahui, dampak buruk akibat utang ini adalah “mematikan” ekonomi rakyat. Utang telah memakan porsi yang sangat besar dalam APBN, memakan hak rakyat. Pembayaran utang dan cicilan pokok sebesar 21% terhadap belanja negara; 22,5% terhadap penerimaan dalam negeri pemerintah . Sementara 70% dari penerimaan dalam negeri itu berasal dari pajak. Jadi, rakyat hanya membayar utang “najis” yang dikorupsi (bocor 30%), dan tidak dirasakan manfaatnya oleh rakyat.
Besarnya utang itu mengakibatkan pengeluaran pemerintah yang berdampak langsung kepada rakyat hanya memiliki porsi yang secuil. Pengeluaran rumah dan fasilitas umum hanya 1,4%; kesehatan hanya 2,97%; pendidikan 10,12%; fungsi ekonomi 9,27%; bahkan untuk perlindungan sosial hanya 0.53%.
Sebenarnya masih banyak lagi realitas yang dapat dijadikan contoh betapa rakyat telah dilemahkan. Untuk itu perlu adanya perhatian plus tindakan yang serius akan nasib rakyat di negeri ini. Karena tanpanya, yang ditakutkan akan terjadi. Rakyat apatis terhadap kondisi yang telah menimpanya. Mereka hanya bisa (terpaksa) menerima nasibnya tanpa mengusahakannya, karena minimnya kesempatan yang diberi, terbatasnya akses terhadap sumber pengusahaan.
Pergeseran fokus kerja menjadi ke arah penguatan hak-hak EKOSOB tidak berarti bahwa gerakan mahasiswa menafikan sama sekali pembelaan terhadap hak-hak sipil/politik. Memang lebih baik, terutama setelah era reformasi. Namun dari sisi institusional (parlement, eksekutif, yudikatif), kualitas dan perilakunya memang masih perlu disoroti. Jadi memang tidak bisa rigid pada pengusahaan pada penguatan hak ekonomi, sosial dan budaya saja, tanpa pengusahaan hak sipil/politik. Karena pengusahaan penguatan pada hak sipil/politik juga akan berdampak pula pada penguatan hak ekonomi, sosial dan budaya. Seperti yang diakatakan Amartya Sen dalam development as freedom.
Misalnya, sistem pemerintahan sekarang adalah presidensiil bukan parlementer. Presiden dipilih oleh rakyat. Namun, dalam praktek pembentukkan kabinet masih saja perlu memperhatikan porsi partai dalam pemerintahan melihat dari penguasaan partai dalam parlemen. Sebenarnya hal ini “tidak” bermasalah jika mentri yang “diambil” dari partai itu memiliki kompetensi dalam bidangnya, bermasalah karena tidak memiliki kompetensi dasar. Sehingga tidak the right man on the right place. Ketika hal ini terjadi, maka penguatan hak ekonomi, sosial akan terancam.
Dengan pengalihan fokus ini, diharapkan Gerakan Mahasiswa dapat lebih 'klop' dengan realitas yang melingkupinya sekarang.

Paradigma Gerakan Sosial Mahasiswa
Nah, untuk menjawab isu-isu EKOSOB, penting untuk merubah paradigma gerakan mahasiswa yang selama ini -kata Soe Hok Gie- hanyalah resi yang turun jika ada penjahat muncul di sebuah kota, menjadi lebih aktif, paradigmatik, dan tersistem. Artinya, kita memiliki visi yang jelas untuk melakukan suatu aksi, tidak hanya bereaksi atas suatu kejadian tertentu. Secara sederhana, kita tidak sekedar “menyelamatkan bayi yang setiap hari dibuang di sungai”, tetapi “mencari dan mencegah adanya pembuangan bayi dengan tindakan yang terprogram, terarah”.
Dalam melihat wacana gerakan mahasiswa beserta fungsinya di masyarakat ada baiknya kita menggunakan persektif Gramscian sebagai pisau analisa dalam melihat realitas-realitas yang sedang dihadapi oleh gerakan mahasiswa. Gramsci melihat Intelektual (baca:mahasiswa) dapat dipahami sebagai penanaman semangat perubahan yang bertumpu pada aspek kognisi yang tanggap terhadap realitas. Gerakan intelektual ini dapat dibaca sebagai daya cipta yang terus-menerus berhubungan secara dialektis dengan suasana sosial politik di zamannya .
Gramsci juga membagi Intelektual ke dalam dua katagori; yaitu intelektual tradisional dan intelektual organic. Intelektual yang pertama adalah intelektual yang memfokuskan dirinya pada wacana-wacana yang hanya dimengerti oleh rekan-rekan sesama intelektual saja. Mereka tinggal dalam sebuah tempat yang terpisahkan oleh dinding yang tinggi dari realitas masyarakat yang ada. Dengan kata lain mereka tidak peduli dengan apa yang terjadi di tengah masyarakat. Intelektual kedua adalah intelektual yang lahir secara organic ditengah-tengah masyarakat. Dia bisa siapa saja, mahasiswa, manager, ilmuwan, doktor dan lain-lain. Dengan begitu Gramsci mencoba untuk menyatukan Intelektual ke dalam masyarakat .
Gerakan sosial, menurut Gramsci haruslah merupakan gerakan partispatoris, Artinya gerakan mahasiswa tidak bisa hanya menyangkut permasalahan-permasalahan elitis yang tidak memiliki signifikansi yang besar bagi kehidupan-kehidupan sehari-hari rakyat kecil. Gerakan sosial harus “something grounded in everyday life”. Gerakan partisipatoris ini juga menuntut sebuah gerakan yang sistematis dan terprgram. Gerakan sosial juga harus bersifat inklusif karena perubahan tidak akan terjadi bila gerakan bersifat elitis. Gramsci Juga menekankan kepada pentingnya kesadaran bagi sebuah gerakan sosial. Karena hanya dengan kesadaran sebuah Historical Bloc terwujud . Dan hanya Intelektual yang mampu menciptakan Historical Bloc ini
Selain itu juga, menurut Gramsci untuk melakukan sebuah perubahan maka mau tak mau kita pun juga harus melihat superstruktur yang sedang berkuasa pada masyarakat (yang menghegemoni).

"All men are intellectuals" [and presumably women] "but not all men have in society the function of intellectuals".
(Antonio Gramsci)
















Platform Gerakan dan Alur Penyikapan Isu
Alur Berikut Menjelsakan posisi platfom gerakan dalam penyikapan isu-isu sosial politik :




















Epilog
Sebenarnya realitas-realitas yang dihadapi mahasiswa diatas dapat dihindari dengan syarat mahasiswa dapat membuat kembali platform yang dapat membuat gerakan mahasiswa memiliki titik temunya kembali. Dan platform itu haruslah berorientasi kepada isu yang merupakan common interest bagi gerakan mahasiswa. Dan isu yang dapat menyatukan gerakan mahasiswa adalah isu-isu menyangkut masalah-masalah sosial ekonomi yang secara langsung terasa kepada rakyat kecil atau dengan kata lain lebih something grounded in everyday life.
Maka dengan kesamaan isu yang diangkat oleh mahasiswa dapat menjadi titik temu persamaan gerakan-gerakan mahasiswa karena semua gerakan sosial apapun ideologinya pasti menginginkan tercapainya civic society yang sejahtera. Dengan kesamaan isu yang diambil, gerakan mahasiswa tidak perlu musuh bersama untuk kembali menjadi Historical Bloc tetapi dengan adanya isu yang sama gerakan mahasiswa dapat menjadi sebuah new historical bloc. Sebuah blok sejarah baru yang memperjuangkan masyarakatnya dengan utuh, yang sinergis dengan “perut rakyat”. Inilah takdir yang harus dijemput oleh mahasiswa: sebagai ruh baru yang mengalir di dalam tubuh masyarakat yang terlelap dalam hegemoni suprastruktur yang menindas. Well, kami tidak peduli apakah anda menyebutnya sebagai “Intelektual organik” atau “ar-ruhul jadid”.

Adalah kata-kata
yang memberi bentuk pada sesuatu yang masuk
dan keluar dari diri kita.
Adalah kata-kata yang menjadi jembatan untuk menyebrang ke tempat lain.
Ketika kita diam, kita akan tetap sendirian.
Berbicara, kita mengobati rasa sakit.
Berbicara Kita membangun persahabatan dengan yang lain.
Para penguasa menggunakan kata-kata untuk menata imperium diam.
Kita menggunakan kata-kata untuk memperbaharui diri kita...
inilah senjata kita saudara-saudaraku
(Subcomandante Marcos, 12 Oktober 1995)
semoga kata tidak sebatas wacana tapi mewujud dalam kerja...

Selasa, 11 September 2007

kALO YANG kuliah aza bisa OON

Wih....hari ini gue mau pergi aksi. ke DP)R/MPR lagi, ga ada kata bosen buat berjuang. ayo!!!! apa yang gue suarakan? yaitu tentang pendidikan yang sekarang harganya melambung tinggi. tahu ga?? ternyata semua ini berujung pada keputusan pemerintah buat bikin BHP. hmmmmmm

Jumat, 31 Agustus 2007

IRS SIAK NG, haffizurrahman dll.....bikin gue kelimpunga...

wah..seperti biasa fakultas gue tercinta ini selalu ketinggalan dalam hal apapun. termasuk dalam ha ngisi siak plus...plus...masa shopping yang menyebalkan. harusnya emang gue bisa lulus dalam 3,5 tahun gara-gara pembimbing gue "tercinta" yang bawel abis masalah pilihan gue kuliah akhirny....terimalah empat tahun berlumut di kampus gue yang serba ungu ini.

tapi,,lo tau g kenapa gue lantas sangat tidak mau berlama-lama kuliah disini.
1. pertama gue orang yang ga terlalu nyaman di kampus ini selain banyak banget amanah-amanah kampus yang ga jelas, juga gue ga dapetin semangat. g kayak waktu gue sma. wih... beutiful abiz...
2. ini salah satu bentu abdi (ciehh....)gue ma nyokap yang udah kerja keras banget buat gue. dah dulu ahh...

Pa Haffizz... yang aneh.gue tunggu di akherat atas ketidak peulian lo ma gue sebagai mahasiswa bimbingan lo.....hiks-hiks...gue jadi nangis. bukan karena sedih. tapi karena ntar di surga gue disibukan untuk jadi saksi kejahatan pa hafizz pada gue...

BUt.... i'm sorry dad..heheh

blog baru guw...